Contoh Teks Drama

Hai! Vacum ngepost blog nih -__- | Saking sibuknyaa kali yee :v | Hahaha, cus ini teks dramaku dari tugas bahasa Indonesia~ Selamat membaca :)))


Kasih Asuhan
Oleh : Citayana Fani Refalta
Adegan 1
Kabut masih menyelimuti dedaunan hijau di pematang. Suara ayam terdengar menyahut di keheningan gelap. Sayup-sayup suara jangkrik di persawahan masih terdengar mengalun simfoni. Hawa dingin terasa amat menusuk, sampai-sampai membuat semua orang menggigil dan enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Namun, tidak dengan Asih. Di kamar ukuran 3x4 m, Asih terbangun dari tidurnya karena mendengar ocehan loyang yang bertempu dengan sendok pengaduk kue. Ia bangkit dari kasur kapuk yang semakin tipis dan bantal dengan warna sarungnya yang telah pudar. Lalu, ia meraih kacamatanya yang terletak di samping tumpukkan buku-buku pelajaran di meja belajar. Sambil menggigil kedinginan, ia menuju dapur.
Asih     : Ibu bangun pagi-pagi sekali? Ini kan masih jam 3, Bu? (sambil mengucek mata)
Bibi      : Eh, kamu. Ngagetin ibu saja. Iya, Nak. Alhamdulilah ibu kemarin Jumat dapat pesenan dari bu  Anna. Anaknya yang paling kecil, hari ini syukuran sunatan. Bu Anna pesen kue 200 buah. Uangnya lumayan, bisa untuk membayar buku-buku ujianmu, Nak.
Asih     : Alhamdulillah. Kok ibu nggak bilang Asih kemarin? Kan Asih bisa ikut bantu ibu? (duduk di samping ibu)
Bibi      : Kemarin kan kamu pulang sore, Nak. Pasti kamu capek sekali, seharian di sekolah untuk persiapan UN tahun depan. Ibu nggak mau ganggu kamu. (terbatuk)
Asih     : Asih nggak pernah capek buat bantu ibu. Ibu kan pernah bilang jadi perempuan itu harus kuat dan tangguh. Nggak boleh gampang ngeluh. Orang yang terlalu sering mengeluh perumpamaannya seperti gelas yang bocor, jadi kalau diisi air nggak akan penuh. Apalagi sekarang keadaan ibu tidak begitu sehat. Asih boleh bantu ya, Bu?
Ibu       : (tersenyum) Kamu masih mengingat kata-kata ibu, Nak? Ibu salut. Orang tua kandungmu di sana pasti sangat bangga mempunyai anak seperti kamu.
Asih     : Hehehe, iya dong, Bu. Ibu bisa saja. Jadi kangen ibu sama bapak. Mereka sedang apa ya di sana, Bu? (menerawang ke luar jendela)
Ibu       : Doakan mereka saja bila kamu kangen dengan mereka. Ibu juga tidak tahu meraka sedang apa di sana, Nak. Sayang sekali ya,  kamu nggak punya foto kedua orang tuamu.  Karena peristiwa itu, semua terbakar menjadi abu.  Sudah, jadi mau bantu tidak? Adonannya tinggal diberi baking powder. (kembali terbatuk)
Asih     : Eh, iya. Hehehe, jadi dong, Bu. Okee, siap!




Adegan 2
Kicauan tawa burung camar menyemarakkan sinar fotosfer yang bangga memancarkan kelebihannya. Hari Selasa, anak-anak sekolah bersiap-siap untuk menjalankan rutinitas. Termasuk Iwan yang baru tiga bulan masuk sekolah menengah pertama. Pukul 06.15 pagi, Iwan menuju ruang makan dengan membawa tas berwarna hitam pudar dan menggunakan seragam yang kerahnya belum dirapikan. Asih juga hendak keluar dari kamar untuk sarapan. Namun, langkahnya tercegah ketika mendengar teriakan Iwan.
Iwan    : Ibu…..! (sambil menggertak meja)
Ibu       : (tergopoh-gopoh dari dapur) Ada apa, Nak?
Iwan    : Tiap hari kok cuma makan tahu kalau nggak tempe. Gimana mau berisi kalo tiap hari makan beginian! Iwan lagi masa pertumbuhan, Bu. Sekali-kali makan ayam atau daging kek. Masa tiap hari kedelai! (membentak)
Ibu       : Nak, sekarang kan apa-apa mahal. Apalagi sekarang harga kebutuhan pokok tidak stabil. Jadi, ibu harus pinter-pinter ngatur pengeluaran. Ibu harus bayar uang awal tahunan kamu, SPP nya Asih, dan kelengkapan lain untuk sekolah kalian hanya dari jualan kue. Ibu harap kamu bisa ngerti, Iwan.
Iwan    : Ahh, cukup! Pagi-pagi udah ceramah. Iwan nggak butuh ceramah, Bu. Pokoknya nanti siang harus ada lauk yang enak! Nggak ada lagi tahu atau tempe di meja. Kalau nggak, Iwan bakal mogok makan! Titik! (berlalu pergi)
Ibu       : Iwan.... Kenapa kamu berubah seperti ini, Nak? Apa salah ibu? Sampai kamu bertindak seperti ini. (wajah sendu, menggeleng, mengelus dada, terbatuk)
Asih     : Ibu nggak salah apa-apa. Iwan saja yang tak tahu diri, Bu. (muncul dari balik pintu kamar)
Ibu       : (menoleh) Hush, Asih! Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Bagaimana pun dia adik kamu.
Asih     : (menunduk) Maaf, Bu. Tapi, lihat saja kelakuan Iwan sekarang, Bu. Ia tak lagi menghiraukan nasihat ibu. Perkataanku saja hanya dianggap angin. Asih nggak habis pikir, kenapa Iwan bisa berubah secepat itu, Bu. Padahal ibu atau pun Asih tidak pernah mengajarkan hal seperti itu pada Iwan. Apa iya Iwan berubah karena pengaruh teman-temannya di sekolah? (dahi mengerut)
Ibu       : Ibu yakin, selama kita sabar untuk menasihati Iwan, Iwan akan kembali seperti dulu.  Mungkin hanya belum waktunya. Sudah, sekarang kamu sarapan saja. Nanti kamu malah terlambat, Asih.
Asih     : Baik, Bu. (tersenyum getir)



Adegan 3
Pukul 06.45 pagi. Suasana kelas hiruk pikuk dengan suara penghuninya untuk menyalin berbagai tugas harian. Pemandangan yang biasa terjadi di kelas XII IPA 2. Hari Selasa, Asih piket bersama kelima temannya. Sampai di kelas, ia menaruh tas di tempat duduknya dan hendak mengambil sapu. Vita yang melihat Asih dan selesai menyalin tugas harian, segera menghampiri Asih dengan wajah marah.
Vita      : Asih! Adikmu diajarin tentang agama atau sopan santun nggak sih? Kakaknya aja mantan aktivis rohis, kok adiknya nggak punya rasa untuk menghormati orang tua!
Asih     : (kaget) Apa maksud kamu, Ta? Aku nggak ngerti.
Vita      : Alahh, pura-pura nggak tahu! Kemarin sore adikmu sama teman-temannya sok-sokan naik motor tanpa rasa bersalah. Mana sambil teriak-teriak nggak jelas, masih pakai seragam, berisik banget lagi! Kamu tahu? Sore itu, aku nemenin nenek untuk sekedar menikmati suasana sore. Eh, bukannya rasa tenang yang didapet, adikmu dengan teman-temannya yang nggak jauh beda malah seperti itu. Bajuku kotor kena semprotan air lumpur dari jalan yang dilalui adikmu. Seenaknya aja dia berlalu pergi tanpa minta maaf.
Asih     : (raut wajah tidak percaya) Astagfirullah. Aku beneran nggak tau, Vita. Karna, setahuku Iwan belum bisa naik motor sendiri. Maafkan adikku, Vi..
Vita      : (memotong) Coba kamu pikir, gimana kalau nenekku tiba-tiba jantungan, Asih? Apa adik kamu mau tanggung jawab, hah?! Untung pula nenekku tidak ada riwayat penyakit jantung. Baru juga lulus SD, bukannya tambah baik kelakuan malah tambah minus. (dengan suara lantang dan  keras)
Kelas hening. Semua mata tertuju pada Vita dan Asih. Hanya suara jam yang setia berdetak seiring dengan detakan jantung. Asih tertegun. Ia tak percaya terhadap apa yang dikatakan oleh Vita.
Asih     : (terisak) Maafkan adikku, Vita. Aku beneran nggak tahu kalau adikku berbuat seperti itu. Aku, aku akan menasihatinya supaya tidak berbuat itu lagi.
            Bel berbunyi. Seluruh penghuni kelas kembali ke tempat duduk masing-masing. Jam pertama dan kedua hari itu adalah dari pak Yadi, seorang guru matematika yang terkenal killer dan sangat menghargai waktu. Namun, Asih masih berdiri dan tangan kanannya memegang sapu. Karine, teman semeja Asih menengok ke belakang. Ia menghampiri Asih.
Karine  : Sabar ya, Asih. Kata-kata Vita jangan terlalu dimasukkan dalam hati. Lebih baik kamu cuci muka dulu. Nanti pak Yadi malah curiga kamu belajar dengan wajah terisak seperti ini. Berhenti ya sesenggukannya. Nanti aku beliin es krim deh. Hehehe. Cus, ayo aku antar! (menepuk bahu)
Asih     : (tersenyum) Kamu, Rin. Memangnya aku anak kecil, habis nangis dibeliin es krim. Kamu benar, Rin. Makasih udah mau nganter.
Karine  : Sama-sama, Sobat! Yuk, ini udah 3 menit dari jam 7. Dua menit lagi, pak Yadi datang. (berlalu pergi sambil memegang pundak Asih)

Adegan 4
Senja berganti dengan pekatnya malam. Hanya ada awan nimbus yang mengisi langit khatulistiwa. Ia sekali-kali tersenyum sepintas kilat dan tertawa dengan gelegar petir. Desau angin yang melambai seolah menggoda setiap orang untuk bersantai termasuk pepohonan untuk menari. Asih baru pulang dari sekolah. Beruntung hujan belum turun. Setelah memasukkan sepedanya ke dalam rumah lewat pintu belakang, Asih menuju kamar ibunya.
Kamar ibunya tampak tak tak jauh beda dengan kamar Asih. Kamar sempit berukuran 3x4 m. Ruangan pengap dengan ventilasi seadanya. Sirkulasi udara buruk. Satu-satunya barang mewah di kamar itu adalah lemari tua dari kayu jati yang masih terlihat kokoh. Beberapa pakaian tergantung di balik pintu. Di sudut ruangan terdapat sajadah, mukenah, dan kitab suci al Qur’an yang berada di atas meja kecil. Asih menghampiri ibu yang sedang berbaring di tempat tidur. 
Asih     : Assalamu’alaikum, Bu. (mencium tangan ibu)
Ibu       : Wa’alaikusalam. Sudah pulang kamu, Nak? (berkata lirih dan terbatuk)
Asih     : Iya, Bu. Maaf Asih baru pulang jam segini, tadi Asih belajar di rumah teman. Iwan belum pulang, Bu? Sepedanya tidak ada di belakang.
Ibu       : Tidak apa-apa. Belum, Nak. Sebenarnya ibu khawatir sama adikmu, seharusnya dia sudah pulang sejak siang tadi. Ibu khawatir dia masih marah karena masalah lauk-pauk tadi pagi, Nak. Apalagi saat ini hendak hujan deras bukan? (berkata lirih dan terbatuk)
Asih     : Iya, Bu. Mungkin dia masih main sama temannya. Nanti juga pulang sendiri, Bu. Ibu sepertinya capek sekali. Asih pijitin ya?
Ibu       : (tersenyum) Tak usah, Nak. Lebih baik sekarang kamu mandi terus makan lalu istirahat. Kamu pasti lebih capek, seharian belajar.
Asih     : Tapi, Asih ingin memijit ibu. Ibu kelihatan capek, pasti tangan kaki ibu pegal-pegal. Boleh ya, Bu?
Ibu       : Kecapekan itu biasa, Nak. Ya sudah, sekarang kamu mandi lalu makan dulu. Setelah itu, kamu boleh pijitin ibu. Ibu sudah menyiapkan makanan di dapur. Kamu ambil sendiri ya!
Asih     : Siap, Bu! (tersenyum dan memberi tanda hormat)
Pukul 17.40 WIB. Gerimis mulai turun. Gemericik air yang menyentuh tanah menimbulkan aroma khas. Angin semakin berdesau. Iwan masih belum pulang dari sekolah. Asih sebenarnya juga was-was tentang keberadaan adiknya. Apalagi dengan kejadian tadi pagi di sekolah. Asih ragu-ragu untuk mengatakan hal itu kepada ibunya. Asih takut, hal itu akan menganggu pikiran ibu dan ibu akan berpikir macam-macam. Apalagi sekarang keadaan ibu sedang tidak terlalu sehat. Namun, bila ia tak mengatakan hal tersebut, Asih khawatir kelakuan Iwan akan semakin menjadi. Sore itu, Asih dilema.
Selepas mandi, Asih merasa lebih segar. Ketika Asih hendak ke dapur, pintu belakang rumah terbuka. Asih masih mengingat dengan jelas, ia menutup pintu itu setengah jam yang lalu. Dari kamar ibu, terdengar suara piring yang pecah. Asih berlari ke kamar ibu.
Iwan    : Ibu…! Tadi pagi kan Iwan sudah bilang. Iwan nggak mau makan tahu tempe. Ini kenapa masih ada tahu tempe di meja makan? Seharusnya ibu bisa membahagiakan Iwan. Ini malah, tiap hari bikin Iwan marah. Dasar ibu yang nggak berguna!
Asih     : (membentak) Iwan! Jaga ucapanmu, bagaimana pun ibu sudah merawat kita sejak 11 tahun dulu. Meskipun dia bukan ibu kandung kita, tidak seharusnya kamu berbuat dan berkata kasar seperti itu! Kenapa sejak kamu masuk sekolah dengan tingkat yang lebih tinggi jadi seperti ini, Iwan? Seharusnya kamu sudah bisa menjaga sikap dan punya tata karma dengan ibu. (sadar menutup mulut)
Iwan    : (melihat Asih) Apa, Mbak? Dia bukan ibu kandung kita? Kenapa, kenapa mbak nggak pernah bilang sama Iwan? Orang tua kandung kita mana, Mbak?
Ibu       : Sudah. Cukup. Ibu nggak mau kalian bertengkar lagi. Iwan, ibu sudah  banting tulang untuk kalian, supaya bisa makan tiga kali sehari dan sekolah seperti anak-anak lain. Ibu harap kamu bisa mengerti, Nak. Sebelas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dan, biarkan cerita pedih itu terkubur bersama abu. Ibu hanya menjalankan amanat ibu kalian yang telah tenang di alam sana dengan sepenuh hati merawat kalian. (kembali terbatuk)
Iwan    : Sebenarnya ada apa ini? Aku nggak ngerti. Bu. Tolong jelaskan pada Iwan. Apa Iwan tidak boleh tahu perihal ibu kandung Iwan sendiri, Bu? (memegang tangan ibu)
Ibu       : (berpikir sejenak) Mungkin sudah saatnya. Asih tolong ceritakan tentang ibumu. (berkata lirih)
Asih     : (mengangguk) Sebelas tahun lalu terjadi kebakaran hebat di daerah kamu lahir, Iwan. Pada saat itu mbak berumur 7 tahun. Mbak tidak tahu persis kronologis kebakaran itu, karena masih berada di sekolah yang jaraknya belasan kilometer dan harus mbak tempuh dengan naik turun bukit. Mbak masih mengingat dengan jelas, waktu itu sehabis pulang sekolah, rumah telah menjadi abu. Mbak sangat bingung.  Sampai akhirnya, mbak bertemu ibu kita saat ini, ibu Mirna di tenda pengungsian. Mbak melihat kamu digendong sama bu Mirna. Dia seperti menganggap kamu anaknya sendiri. (hendak meneteskan air mata)
Iwan    : (wajah menyiratkan tidak percaya) Apa benar, Bu?
Ibu       : Iya, Nak. Ibu masih mengingat dengan jelas, ibumu memohon pada ibu untuk merawat kamu dengan Asih. Saat itu, ibu mendengar teriakan minta tolong dan suara tangisan bayi dari rumahmu dulu yang hampir setengahnya sudah terbakar. Tanpa menghiraukan teriakan tetangga, ibu masuk ke dalam rumah dan melihat ibumu kepayahan untuk bangun karena kakinya  tertindih lemari kayu. Pada saat itu, ibu juga melihat kamu yang terus-terusan menangis di tempat tidur. Ibu hendak menolong ibu kandungmu terlebih dahulu, tetapi ia mencegah dan menyuruh ibu untuk membawa kamu keluar. Ibu menolak, karena ibu ingin membantu ibumu dahulu. Sampai akhirnya, salah satu plafon jatuh dan mengenai kepala ibumu. Dengan mengadu kesakitan,  ia meminta tolong lagi agar ibu membawamu keluar rumah serta merawat kalian berdua kelak sampai dewasa nanti. Ibu tidak ada pilihan, terpaksa ibu menggendong kamu keluar rumah dan meninggalkan ibumu yang tiada daya untuk menyelamatkan diri.
Iwan    : Kenapa, kenapa ibu dengan mbak tidak pernah cerita dengan Iwan? Lalu, di mana bapak?
Ibu       : Ibu berpikir akan ada saatnya nanti, pada waktu yang tepat. Tetapi, ibu telah menceritakannya sekarang. Asih, ceritakanlah keberadaan ayahmu.
Asih     : (mengangguk dan duduk di samping ibu) Ayah meninggal setelah 3 bulan kamu lahir, Iwan. Saat itu, ayah pulang dari bekerja. Ia meninggal karena ditabrak mobil. Ayah meninggal di tempat, darahnya berceceran di jalan. Mbak masih ingat sekali kondisi ayah saat itu, mengenaskan. Padahal hari tersebut adalah ulang tahun mbak dan ayah berjanji untuk membelikan boneka sebagai hadiah. Namun, takdir berkata lain. (meneteskan air mata)
Iwan    : Kenapa Tuhan memberikan takdir seperti itu? Tidak adil rasanya, Iwan tak pernah merasakan kasih sayang orang tua kandung saat Iwan sudah mengerti tentang itu.
Asih     : Iwan, kamu tidak boleh beranggapan bahwa Tuhan tidak adil. Allah pasti memberi manusia ujian tak lebih dari kemampuan kita. Kita harus sabar menghadapi semua itu.
Ibu       : Asih benar. Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan garis tangan manusia itu sendiri-sendiri, Nak. Takdir memang di tangan Tuhan. Namun, kita tidak boleh berpangku tangan dan hanya mengharap belas kasih orang lain untuk menjalankan hidup. Ibu selalu percaya bahwa hidup harus dijalani dengan bekerja keras, doa serta tawakal kepada Tuhan. Dan, kamu harus ingat. Tidak hanya kecerdasan ilmu pengetahuan yang kita bangun dalam menjalankan kehidupan, tetapi juga kecerdasan spiritual dan emosional. Kecerdasan itu terdapat di sini, Nak. Jagalah selalu hati kalian agar tetap bersih, karena dengan hati yang bersih hidup akan terasa lebih bermakna dan tenteram tanpa ada penyakit hati yang dapat merogoti kalian. Orang-orang pasti akan menyayangi kita bila mempunyai hati yang bersih. Kalian juga harus mempunyai rasa untuk menghargai hidup, karena Tuhan hanya memberikan satu periode kepada kita untuk menabung amal untuk alam akhirat nanti. (menunjuk dada)


Iwan meneteskan air mata. Refleks tangannya memeluk tubuh wanita yang ternyata bukan ibu kandungnya itu. Asih hanya berdiri mematung dan sesenggukan menahan tangis. Hanya beberapa menit, ibu kembali terbatuk. Berulangkali ia terbatuk. Sampai akhirnya, ia terbatuk hebat. Keluarlah dahak, berwarna merah dengan bau amis.
Asih     : Astagfirullah. Ibu batuk darah? Ya Allah, Iwan cepat ambil air putih! (panik)
Iwan    : Iya, Mbak. Sebentar. (hendak keluar  kamar)
Ibu       : (menarik tangan Iwan dan Asih) Tak perlu. Maafkan semua kesalahan ibu ya, Nak. Ibu minta maaf belum bisa membahagiakan kalian sepenuhnya. Ibu tidak bisa merawat kalian sampai dewasa nanti sesuai dengan permintaan ibu kandung kalian. Ingat pesan ibu. Semoga kalian menjadi orang yang beruntung di dunia maupun akhirat nanti. (nafas tersengal)
Asih     : Ibu, ibu bicara apa sih? Asih sudah bahagia hidup bersama ibu. Ibu telah merawat kami dengan tulus sebelas tahun ini. Asih pasti akan selalu ingat pesan ibu.
Iwan    : Iwan juga, Bu. Seharusnya Iwan yang minta maaf dengan ibu. Iwan telah berbicara dan  bertindak kasar dengan ibu. Iwan tak menyadari bahwa selama ini Iwan dirawat oleh seorang ibu yang benar-benar tulus mengasuh meskipun ibu bukan ibu kandung Iwan. Maafkan Iwan, Bu. Iwan belum bisa membalas kebaikan itu dengan membahagiakan ibu.
Ibu tersenyum. Perlahan ibu mulai  memejamkan mata. Langit semakin pekat seiring hujan yang semakin deras. Roh yang tak kasat mata keluar dari tubuh seorang manusia dan melayang menuju langit. Hanya tinggal fisik yang organ-organ tubuhnya berhenti bekerja. Ibu, seorang manusia yang tulus mengasuh terbaring tenang untuk selamanya.

***SELESAI***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Percobaan Reaksi Pendesakan Logam (Kimia)

Ayat-Ayat (Tugas Agama)

Pengertian Strategi Belajar