Cerita Pendek


 AB
Citayana Fani Refalta

Runi membuka satu lembaran lagi. Sesekali matanya terpejam. Bibir mungilnya berkomat-kamit seperti membaca mantra. Akan tetapi, bukan mantra yang dibacanya melainkan materi sosiologi.
“Sudah pukul 5, sebaiknya aku bersiap-siap.”, gumam Runi sambil melihat jam.
Seruni Nafika Puri atau biasa dipanggil Runi. Ia salah satu mahasiswa di kampus elit di kota. Hanya orang-orang berkantong tebal yang dapat masuk di kampus itu. Runi tidak termasuk orang yang berkantong tebal. Akan tetapi, berkat beasiswa ia dapat melanjutkan pendidikan di kampus elit. Ayahnya bekerja sebagai satpam di salah satu sekolah menengah pertama di kota itu. Ibunya sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci.  Setiap hari, Runi berangkat bersama ayahnya menggunakan sepeda motor butut.
“Eh, anak satpam udah berangkat nih. Boncengan pake motor Ninja deh kayaknya. Hahaha.”, teriak Karin di depan Runi.
“Ninja? Nggak salah, Rin? Orang motor yang kudu di museum gitu kok. Hahaha.”, Alta sahabat Karin menimpali.
 Runi tak pula menghiraukan perkataan mereka. Baginya itu hanya angin semata. Di kampus Runi tak mempunyai teman. Karin, salah satu anak terkaya dan tercantik di kampus itu seringkali mengejek Runi. Tak ada bosan-bosannya.
Bel pertanda masuk berbunyi tepat pukul 08.00. Pak Ratno, pengampu mata pelajaran sosiologi masuk ke kelas dengan membawa soal ujian. Suasana kelas menjadi riuh. Ada yang kecewa melihat Pak Ratno membawa soal ujian. Mereka berfikir siapa tahu saja, Pak Ratno lupa. Runi segera menyiapkan selembar kertas untuk ujian siologi. Terbenam dalam hatinya, berdoa agar dapat mengerjakan ujian dengan lancar dan  mudah. Di sisi lain, Karin tersenyum jahat melihat Runi.
“Rasakan kamu.”, ucap Karin dalam hati.
Sepuluh  menit kemudian kelas kembali tenang. Setiap anak mulai berperang dengan soal masing-masing. Runi tampak begitu serius. Ketika hendak mengambil tipex di laci, selembar kertas  jatuh ke lantai.  Dia mengambilnya dengan hati-hati. Runi terkejut ketika melihat tulisan dari kertas itu. Ya, kertas itu berisi tentang materi yang dibacanya subuh tadi. Pak Ratno yang berada di belakang Runi segera merebut kertas itu.
“Runi, apa-apaan kamu? Mau berlaku curang, hah? Saya pikir kamu mahasiswa yang jujur. Ternyata tidak. Keluar!”, bentak Pak Ratno.
“Tapii, Pak. Saya bermaksud mengambil tipex dan kertas ini terjatuh. Kertas ini bukan punya saya, Pak. Saya tak pernah membawa contekan seperti ini, Pak.”, jawab Runi terbata-bata.
“Saya minta kamu keluar, Runi!”, bentak Pak Ratno lebih keras lagi.
“Baik, Pak.”, ucap Runi dengan lemas dan langkah gontai.
 Kelas kembali riuh. Karin merasa puas karena berhasil menjebak Runi.
“Anak-anak tenang. Lanjutkan pekerjaan kalian. Jangan contoh Runi yang membawa contekan ini! Paham?”
“Paham, Pak.”, jawab mereka dengan kompak.
Runi berjalan ke kamar mandi. Perlahan tapi pasti, ia segera membasuh muka.
“Ya, Tuhan. Siapa yang tega melakukan ini terhadap hamba? Apa salah hamba, Ya Tuhan?”, tanya Runi dalam hati.
###
Tiga hari berselang. Runi masih belum mengetahui siapa yang melakukan hal itu. Dia diberi tugas tambahan oleh Pak Ratno dan harus mengumpulkan tugas itu dalam waktu tiga hari.
“Selamat siang, Pak. Saya hendak mengumpulkan tugas.”, Runi berkata dengan ramah.
“Ya. Runi, kalau mengerjakan ujian utamakanlah kejujuran. Bagaimanapun saya lebih menghargai pekerjaan yang jujur walau hasil tak memuaskan daripada nilai bagus tetapi hasil menyontek.”, tuah Pak Ratno.
“Ya, Pak. Saya permisi dulu”, jawab Runi dengan lemas.
 Rupanya Karin mengikuti Runi ke ruang dosen. Ketika Runi keluar, ia mengejeknya kembali.
“Gue nggak nyangka. Anak orang miskin yang cuman numpang di kampus ini ternyata nyontek. Pantes aja nilai  bagus terus. Apa iya disebut pinter? Eh, pinter nyontek? Hahaha.”, kata Karin dengan nada mengejek.
“Rin, aku memang anak orang miskin. Numpang? Aku bisa sekolah di kampus ini karena beasiswa. Bukan dari segi material yang berlimpah. Sekali lagi, aku nggak pernah menyontek. Kertas itu bukan punyaku. Seseorang mungkin telah sengaja menaruh kertas itu di laciku.”, balas Runi.
“Halah, nggak usah membela diri deh. Jelas-jelas ada bukti pake mengelak. Nggak tau diri lo!”, teriak Karin.
Runi menghela nafas. Ia tak ingin mencari masalah dengan Karin. Segera ia pergi menuju ke kelas. Meninggalkan Karin yang wajahnya terlihat sebal terhadap Runi.
Sudah menjadi rutinitas, Runi pulang dari kampus dengan berjalan kaki. Sebenarnya, rumah Runi tak pula jauh dari kampus tersebut.
“Tin tiin tiiin. Eh minggir lo!”, teriak Karin dari belakang dengan motor barunya.
 Runi bermaksud menghindari Karin. Alhasil ia terpeleset dan jatuh ke kubangan air di pinggir jalan. Bajunya seketika kotor. Karin tersenyum puas dan tidak melihat ke depan. Tiba-tiba dari arah berlawanan mobil Kijang hendak menyalip sebuah bis kota. Brakk, kecelakaan tak dapat dihindari. Karin terjatuh, helmnya terlepas. Mobil yang menabraknya melarikan diri. Jalan menjadi merah. Runi yang melihat itu langsung mendekati Karin dan berteriak minta tolong.
Karin telah berada di UGD. Runi harap-harap cemas masih dengan baju kotornya. Semoga saja Karin dapat diselamatkan. Alta yang pulang melewati  jalan itu dan mendengar teriakan Runi sekarang berada di sampingnya.

“Ni, gimana ya keadaan Karin. Gue takut.”, kata Alta dengan terisak.
“Kita doain aja, Ta. Semoga saja Karin dapat diselamatkan.”, jawab Runi dengan tenang.
Ayah Karin tak dapat dihubungi. Handphonenya tidak aktif. Ayahnya sibuk mengurus bisnis di luar kota. Ibunya telah lama meninggal. Karin hanya tinggal bersama pembantunya. Dia anak semata wayang. Tak berselang dokter pun keluar dari UGD.
“Bagaimana keadaan sahabat saya, Pak? Apa baik-baik saja?”, tanya Alta dengan terburu-buru.
“Pasien Karin kehilangan banyak darah sedangkan stok darah kami sedang habis. Ia harus segera ditransfusi darah. Kalau tidak nyawanya tak dapat diselamatkan.”, jawab dokter yang telah beruban itu.
“Golongan darahnya apa, Pak?”, tanya Alta.
“AB, Nak. Jarang sekali orang yang mempunyai golongan darah itu.”, ucap dokter.
“Gunakan darah saya saja, Pak. Golongan darah saya AB.”, kata Runi dengan ikhlas.
“Baik, ayo segera.”, jawab dokter itu.
Runi menjalankan serangkaian tes sebelum darahnya benar-benar didonorkan untuk Karin. Ayah Karin sudah dapat dihubungi dan datang menjenguk anaknya. Dielus rambut anaknya dengan kasih sayang. Alta menceritakan kejadian siang tadi kepada ayah Karin.
###
Mentari bersinar terang. Embun pagi berkilau seperti kristal bila terkena cahaya matahari. Runi bersyukur Karin dapat selamat dari kecelakaan kemarin. Baru beberapa langkah berpijak menuju kelas, ia dihampiri Alta.
“Ni, ayah Karin pengen ketemu kamu.”, ucap Alta.
“Memang kenapa, Ta?”, jawab Runi dengan terheran-heran.
“Nanti saja saat di rumah sakit. Setelah pulang kampus, ya? Kamu boncengan sama   aku.”, jawab Alta.
“Baiklah, Ta.”, jawab Runi.
Tepat pukul 14.15 Alta dan Runi  sampai di rumah sakit. Karin  telah siuman sejak pagi. Runi pun tersenyum manis kepada Karin. 
“Pak, ini Runi yang telah mendonorkan darah untuk Karin.”, kata Alta.
“Terima kasih, Nak. Kamu telah berbaik hati kepada Karin. Saya akan balas kebaikan kamu.”, kata ayah Karin kepada Runi.
“Sama-sama, Pak. Kebetulan golongan darah saya sama seperti Karin. Saya ikhlas menolong Karin, Pak”, jawab Runi.
“Kamu memang anak yang baik.”, puji ayah Karin.
Karin tersipu malu. Sekarang ayahnya memuji Runi anak yang baik. Karin? Alangkah jahat ketika ia mengejek Runi tanpa bosan-bosannya.
“Ayah, Alta. Maaf, bisa tinggalkan aku dan Runi sebentar?”, pinta Karin dengan hati-hati.
“Iya, Karin.”, jawab ayah Karin.
Karin menangis ketika ayahnya dan Alta keluar dari kamar VVIP itu. Ia meminta maaf kepada Runi karena perilakunya. Karin juga mengaku bahwa ia yang menaruh kertas  itu ke laci Runi.
“Udah, Rin. Aku udah maafin kamu kok.”, ucap Runi.
“Beneran? Aku iri sama kamu yang selalu dipuji sama dosen, Ni. Dulu aku ngerasa kamu nggak pantes untuk sekolah di kampus itu. Aku bener-bener nyesel, Ni. Hampir mau menabrak kamu kemarin. Tetapi yang terjadi..”, kata Karin sambi terisak.
“Hush, udah. Aku beneran udah maafin kamu, Karin. Lupakan yang telah berlalu, ambil hikmahnya. Setiap manusia diberi kesempatan kok untuk berubah.”, jawab Runi.
“Makasih, Ni. Kamu emang baik banget. Sekarang kita berteman ya?”, balas Karin.
“Tentu, Karin.”, jawab Runi diakhiri senyuman.
“Sekali lagi, terima kasih. Kamu udah menyadarkanku. Aku janji nggak akan melakukannya hal itu lagi, Ni.”, janji Karin kepada Runi.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Percobaan Reaksi Pendesakan Logam (Kimia)

Ayat-Ayat (Tugas Agama)

Pengertian Strategi Belajar