Mengonversi Teks Eksplanasi "Abrasi"
Tak Harus Merusak
Sinar fotosfer dari sang surya
mulai memudar menjadi lembayung membentuk barisan sandikala. Sinarnya terhalang
oleh awan stratus. Burung-burung saling bersahutan di cakrawala dan kembali ke
tempat peraduan. Sapuan gelombang air laut menuju bibir pantai turut memecah
kesunyian petang. Butir-butir pasir tampak berwarna keperakan. Ani termenung.
Batu besar yang ia duduki menjadi saksi pertengkarannya dengan temannya, Refa.
***
Nadya Ani Prabaningtyas atau
biasa dipanggil Ani. Ia adalah salah satu murid pindahan di SMA Persada.
Ayahnya pindah dinas kerja dari Malang. Mau tak mau, keluarga Ani ikut pindah
ke Jawa Barat. Mereka tinggal di pesisir selatan yang masih alami dan belum
tersentuh oleh orang luar. Ani mempunyai teman yang bernama Refa. Gadis
berkulit hitam manis dengan rambut sebahu. Mereka satu meja di kelas X 1.
Halaman sekolah sepi. Hanya
terdengar suara sapu pak kebun menyapu taman. Usai diberi “wejangan” oleh pak satpam,
Refa memarkir sepeda lalu bergegas menuju kelasnya di ujung gedung yang catnya
telah kusam lama tak diperbarui. Kelas X 1. Peluh keringat yang bercucuran
membasahi dahi, ia tepis dengan tangan. Penampilannya tak terlalu baik.
Rambutnya tergerai berantakan. Sebelum mengetuk pintu, Refa mengucir rambutnya
model ekor kuda dengan ikat rambut kucel.
“Assalamu’alaikum, Pak. Maaf
saya terlambat.”, sapa Refa.
“Wa’alaikumsalam. Sudah jam
berapa ini, Refa? Kenapa kamu terlambat?”, tanya Pak Syaiful.
“Maaf, Pak. Saya harus ke pasar
dulu tadi. Di tengah jalan menuju sekolah, ada mobil yang melaju kencang. Saya
kaget dan jatuh ke tanah yang berlumpur, Pak. Jadi, saya harus pulang dulu
untuk ganti baju. Sekali lagi, maaf, Pak.”
“Ya sudah. Sana duduk! Lain
kali jangan diulangi.”
“Ya, Pak. Terima kasih.”, ucap
Refa sumringah.
Refa berjalan dengan pasti
menuju bangkunya yang satu meja dengan Ani.
“Fa, kamu kenapa sih?
Akhir-akhir ini kulihat kamu sampai sekolah siang terus. Eh, sekarang malah
terlambat 20 menit. Nggak kayak biasanya.”, tanya Ani.
“Nggak papa kok. Cuma lagi
banyak kerjaan aja. Ganti bab sekarang?”, ucap Refa sambil mengeluarkan buku.
“Iya, bab larutan penyangga.”
“Oke.”
***
Bel pulang sekolah bersenandung
dengan ramah pukul 16.00. Anak-anak berseru “Yes” karena sebentar lagi mereka akan terbebas dari penat
pelajaran. Mereka segera memasukkan buku ke dalam tas. Sebagian anak telah siap
merangkul tas.
“Fa, besok hari Minggu kita ke
perpusda yuk. Pulangnya aku traktir deh.”, ajak Ani.
“Duh, maaf nggak bisa, Ni. Mumpung
libur, aku harus jualan kue besok keliling kampung. Nenekku lagi sakit.”, ucap
Refa sambil memeriksa laci meja.
“Nenekmu sakit? Kenapa kamu
bilang tadi nggak ada apa-apa?”, tanya Ani.
“Eh, ee… Nggak. Hm, aku pulang
duluan ya, Ni. Bye!”, tukas Refa terburu-buru.
Ani memicingkan mata.
Sahabatnya sejak SMP itu berbohong. Ani yakin ada sesuatu yang ditutupi oleh
Refa. Keingintahuan Ani semakin menjadi. Tanpa sepengatahuan Refa ia mengikuti
Refa. Ia juga turut mengambil sepedanya. Dua puluh menit kemudian mereka sampai
di rumah Refa.
Rumah Refa sangat sederhana. Berdindingkan bilik dan
beratapkan rumbia. Lantainya belum
keramik, masih tanah. Dikelilingi oleh pagar bambu yang hampir lapuk dimakan usia.
Rerumputan hijau menyiangi halaman
rumah. Masih dengan seragam sekolah, Ani bersembunyi dibalik pohon rambutan di
samping rumah Refa. Ia harap-harap cemas, takut ketahuan.
Tak sampai setengah jam, Refa
keluar menggunakan kaos polos berwarna biru dan celana pendek motif
kotak-kotak. Ia membawa karung goni dan sebuah golok. Dengan segera Refa
mengayuh sepeda menuju tempat yang Ani tidak tahu.
“Aku harus mengikuti Refa.”,
gumam Ani.
Jalan yang bertanah coklat mulai berganti
dengan tanah berpasir. Mereka hampir sampai di bibir pantai. Refa segera
memarkir sepedanya di dekat hutan mangrove. Ani menjaga jarak, kalau-kalau ketahuan.
“Refa ngapain ke sini.”, gumam
Ani.
Refa memotong mangrove dengan
goloknya. Dengan cepat, ia memotong mangrove dan satu persatu dikumpulkan di
atas karung goni. Ani ingin menghampiri Refa tetapi ragu. Hingga ia memejam
mata dan mengelus dada. Aku harus melakukannya, batin Ani.
“Ani, apa yang kamu lakukan?”, ucap Ani
setengah berteriak.
Refa kaget dan menjatuhkan batang mangrove yang
dibawanya ke tanah pasir.
“Ee nggak ngapa-ngapain kok.
Cuma ngambil batang mangrove yang berserakan aja buat dijual.”
“Kamu bohong, Fa. Kalau kamu
cuma ngambil, buat apa kamu bawa golok. Aku dari tadi memperhatikan kamu
memotong mangrove pake golok itu.”
“Terus kalau aku memotong
mangrove kenapa? Toh, banyak juga masyarakat sekitar sini yang seperti ini.”
“Tapi, Fa. Itu sama aja kamu
ngerusak alam. Secara nggak langsung kamu udah menyebabkan abrasi di pesisir
kita!”, ucap Ani.
“Terserah. Aku nggak mikir soal
abrasi. Kamu juga tahu, Ni. Hidupku sulit. Ibuku telah meninggal. Dan ayahku
entah pergi ke mana. Nenek sekarang juga lagi sakit-sakitan. Belum lagi, harga
kebutuhan pokok ikut naik seiring harga BBM. Ini semua untuk menyukupi kebutuhan hidupku
dengan nenek, Ni. Aku ini hanya orang
kecil yang tak bisa berbuat apa-apa.”, ucap Refa dengan nada tinggi.
Ani terdiam. Dahinya mengerut. Ia memainkan
jemarinya. Otaknya berpikir keras.
“Tapi, kamu kan bisa cari
alternatif lain untuk mendapatkan uang tanpa merusak alam, Fa. Kita kan
generasi muda yang sudah sepatutnya menjadi generasi yang peduli lingkungan.
Kalau lama-lama hutan mangrove kita habis dibabat, pantai kita bisa abrasi.
Kita lah yang merugi. Kamu masih ingat apa yang pernah dikatakan oleh guru
bahasa Jawa kita, Bu Sri? Dalam babab Tanah Jawi mengupas salah satu ajaran
dari Syekh Lemah Abang atau terkenal dengan nama Syekh Siti Jenar dengan konsep
manunggal atau bersatu. Lewat pitutur luhur dari konsep manunggal, jika manusia
sudah bersatu dengan alam, manusia tidak akan berani merusak alam. Jika itu
dilakukan, sama halnya dengan merusak diri sendiri. Itu kearifan lokal di
daerah kita, Fa. Tetapi sekarang sudah banyak dilupakan orang. Aku yakin kamu
pasti mengingatnya, Fa.”, ucap Ani panjang lebar.
“Kamu nggak ngerti kondisiku,
Ni. Nggak ngerti.”, ucap Refa sambi terisak.
“Aku ngerti kon…”
“Cukup! Aku nggak mau denger
lagi.”
Refa setengah berlari dengan
membawa karung goni dan golok. Mata dan pipinya merah. Dada Refa terasa sesak.
Tak terasa bulir air mata keluar dari bola matanya. Tangan kanannya sesekali
menepis bulir air mata yang keluar dari bola matanya. Ia mengabaikan teriakan
Ani dan segera mengayuh sepeda.
“Aku harap kamu bisa berubah
pikiran, Fa.”, harap Ani.
***
Gerimis yang turun sejak sore
belum berhenti. Sekitar pukul 19.00, awan nimbus mengisi langit di pesisir
selatan. Kilat menyambar-nyambar memecah kepekatan malam dan suara petir yang
menggelegar. Pepohonan tampak bergoyang diterpa angin. Gerimis semakin deras
ketika Refa sedang mengaduk teh dengan gula yang tersisa untuk neneknya.
“Nek, ayo diminum dulu. Biar badannya
lebih hangat.”, tawar Refa lembut.
“Terima kasih, Nduk.”, ucap nenek lemah.
“Tapi, Refa minta maaf, Nek.
Gulanya tadi tinggal sedikit, jadi mungkin tehnya nggak pula manis.”
“Tidak apa-apa, Nduk. Melihat senyum cucu nenek sudah terasa manis. Sekarang
hujan deras ya, Nduk? Semoga saja tak
terjadi apa-apa.”
“Nenek bisa saja. Iya, Nek.
Amin.”
Refa membantu nenek untuk duduk. Ia segera
mengambil teh di meja samping ranjang nenek. Setelah minum setengah gelas,
Nenek kembali berbaring.
“Sekarang kok masih hujan ya,
Nduk. Padahal seharusnya ini sudah musim kemarau. Alam sepertinya enggan
bersahabat lagi dengan kita. Karena perilaku kita, Nduk. Cucu nenek
satu-satunya ini jangan sampai merusak alam ya. Jangan sekali-kali kamu mencari
uang dengan merusak alam. Itu sama saja merusak diri sendiri kata buyutmu dulu,
Nduk.”
“Iya, Nek. Refa nggak akan
merusak alam.”, ucap Refa bohong.
“Maafkan nenek juga ya, Nduk. Nenek belum bisa membahagiakan
kamu. Sekarang nenek malah sakit dan merepotkan kamu. Kan seharusnya kamu fokus
sama sekolahmu.”
“Nek, aku sudah bilang berapa kali? Nenek nggak perlu meninta maaf sama
Refa. Aku hidup dengan nenek sudah bahagia. Nenek sama sekali tidak
merepotkanku. Hanya ini yang sekarang bisa lakukan untuk membalas kebaikan
nenek untuk merawatku sampai 16 tahun ini. Aku sayang sama nenek.”
Refa memeluk neneknya. Hangat
di tubuh nenek segera mengalir ke tubuh Refa. Air mata yang belum kering benar
tadi sore basah kembali. Ia berusaha menahan air mata agar nenek tidak
mengetahui kalau ia hendak menangis. Tak berapa lama, Refa melepas pelukannya.
“Refa ke kamar dulu ya, Nek.
Kalau nenek ingin sesuatu, nenek bisa panggil Refa.”, ucap Refa.
Nenek mengangguk dengan
tersenyum tulus. Keriput di wajahnya menunjukkan garis kehidupan pelik bersama
Refa. Rambut yang sepenuhnya telah berwarna putih tergerai di bantal.
Malam tanpa bintang. Refa
menangis di kamar. Apa yang harus aku lakukan, batin Refa. Dadanya kembali
sesak. Berkali-kali ia menepuk dadanya. Refa sadar, tak seharusnya ia bersikap
seperti itu kepada Ani. Apa yang dikatakan oleh temannya itu dibenarkan oleh
ucapan neneknya tadi.
“Aku harus minta maaf dengan
Ani.”, ucap Refa.
Di lain tempat.
“BBM kok naik lagi ya, Pak.
Udah bagus-bagus kemarin turun. Ibu kudu pinter-pinter bagi uang belanja ini.
Andaikan gaji bapak ikut naik. Kan nggak masalah.”, gelisah ibu Ani.
“Bapak juga nggak tau, Bu. Lucu
juga harga BBM naik turun gini. Harga kebutuhan pokok jadi nggak stabil.
Apalagi musim sekarang seperti ini. Yaa mungkin ini langkah terbaik dari
pemerintah, Bu..”
“Benar, Pak. Kita yang sederhana
gini aja hidup pas-pasan Apa lagi yang di bawah kita. Ibu nggak bayangin, Pak.”
Ani terdiam. Jemari tangannya
yang sembari tadi sibuk menari-nari di atas keyboard laptop terhenti. Ia
teringat pada kawannya, Refa.
***
Sinar fotosfer dari sang surya
mulai memudar menjadi lembayung membentuk barisan sandikal. Burung-burung
saling bersahutan di cakrawala dan kembali ke tempat peraduan. Sapuan gelombang
air laut menuju bibir pantai turut memecah kesunyian petang. Butir-butir pasir
tampak berwarna keperakan. Ani termenung. Batu besar yang ia duduki menjadi
saksi pertengkarannya dengan temannya, Refa. Di kejauhan, tampak seorang gadis
ragu-ragu menuju tempat Ani berada.
“Ani.”, sapa Refa ragu.
Ani menoleh. Ia tersenyum.
“Aku minta maaf soal kemarin,
Ni. Kamu benar, nggak seharusnya aku memotong tanaman mangrove di pesisir kita. Aku sama aja
udah menyebabkan abrasi dan ngerusak alam.”
“Aku udah maafin kamu, Fa.
Syukurlah kalau kamu sudah sadar.”
“Terima kasih, Ni. Ini juga
berkat kamu.”
“Sama-sama, Fa. Oh iya,
kapan-kapan boleh nggak ikut buat kue gitu. Nah, semalam aku kepikiran nih jual
kue di sekolah. Yaa, bisa dititipin ke kantin atau dijual sendiri pas
istirahat. Itung-itung belajar wirausaha. Hehehe.”
“Boleh, Fa. Aku juga berpikir
seperti itu untuk mencari uang. Keuntungannya bisa dibagi dua kalau begitu.”
“Hmm, fifty-fifty
ya? Hahahaha.”
Mereka tertawa. Desau angin
membelai rambut mereka yang tergerai. Ombak berangsur surut. Siluet petang
nampak menakjubkan. Memang, kita hidup berdampingan dengan alam. Tak seharusnya
kita mencari uang dengan merusak alam-realitanya?
Kunci dari sebuah kehidupan yang damai dan
tenteram adalah kebajikan di atas ketidak pedulian.
Komentar
Posting Komentar